header junitha hornet's story

Cerpen Dino Si Rambut Ikal Sahabatku

Dino Si Rambut Ikal Sahabatku

Junitha Hornet

“Selamat Datang di Desa Suka Damai, Kecamatan Bumi Asih, Kabupaten Maju Jaya,” kubaca lirih papan berukuran besar yang diapit dua gapura tinggi disebelah kanan dan kiri jalan, saat memasuki sebuah desa dengan pemandangan alam yang begitu indah. Sejauh mata memandang nampak hijau banyak pepohonan.

“Di desa ini rupanya aku akan tinggal,” gumanku. Kubiarkan kaca jendela mobil terbuka lebar, menikmati udara pedesaan yang begitu sejuk, melihat petani sedang sibuk memanen padi, dan nampak dari kejauhan anak-anak seusiaku sedang bermain layang-layang di tanah lapang.

“Rey, kita hampir sampai,” tutur Papa sambil tersenyum.

“Gimana suka?” tanyanya, sembari menyetir mobil dengan sangat hati-hati karena jalanan sedikit berlubang dan baru saja turun hujan.

“Suka dong Pa,” jawabku, yang duduk di samping Papa sekaligus menjadi Navigator selama perjalanan panjang menuju desa. Mama dan Kak Rania masih terlelap tidur di jok belakang, nampak kecapaian karena perjalanan panjang hampir delapan jam yang sudah kami tempuh.

***

Mobil yang kami tumpangi memasuki sebuah halaman yang luas, nampak rumah berbentuk bangunan tua jaman Belanda bercat putih bersih, bangunannya seperti villa dalam sebuah film yang berdiri kokoh dan dikelilingi pepohonan yang sangat rindang dan taman yang terawat dengan baik.

“Kak bangun Kak, kita sudah sampai nih,” Mama yang terlebih dulu bangun membantu membangunkan Kak Rania yang terlihat begitu kelelahan.

Papa memarkirkan mobilnya, kemudian kami turun dari mobil menginjakan kaki pertama di halaman rumah yang akan kami tinggali. Kedatangan kami disambut dengan ramah oleh Bapak-bapak paruh baya dan istrinya, juga seorang anak laki-laki seusiaku, rupanya mereka adalah satu keluarga, dan Bapak itu adalah penjaga rumah ini.

“Selamat datang, ini pasti Mas Reynan dan Ini Mbak Rania,” sapanya dengan menunjuk jari telunjuknya kearah kami dan menerka-nerka.

Papa tersenyum dan menepuk pundaku pelan, “Betul Pak Bejo, ini Reynan anak saya yang nomor dua, tahun ini kelas enam SD dan yang ini kakaknya Rania kelas tiga SMP,” Bapak-bapak itu mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan Papa, kamipun bersalaman dan berkenalan.

***

Papaku adalah kepala Badan Pertanahan Nasional, tahun ini Papa pindah tugas di kabupaten Maju Jaya, sejak kecil aku terbiasa mengikuti Papa berpindah-pindah tempat karena harus menjalankan tugas, walaupun awalnya sulit namun lambat laun hal ini membuat kami terbiasa untuk beradaptasi di tempat baru, senang memiliki banyak teman, dan terkadang bersedih karena harus berpisah dengan mereka. Kata Papa, “Bersabarlah, suatu saat nanti jelang pensiun kita akan kembali pulang ke Bandung dan menetap selamnaya disana.”

***

Satu minggu berlalu, kami menjadi warga baru di desa ini, beruntungnya tetangga disekeliling rumah sangat baik dan juga ramah. Pagi ini begitu cerah, langit nampak biru dihiasai burung berterbangan kesana kemari, pemandangan yang jarang aku temui di kota. Papa memilih tinggal di sebuah desa yang jaraknya tujuh kilo meter dari kantor, menuruti keinginan Mama. Mama terlanjur jatuh hati dengan rumah yang kami tempati saat ini, sejak pertama kali ditawari oleh seorang karyawan di kantor Papa beberapa minggu sebelum kami pindah, dan Rumah dinas hanya kami tempati sesekali waktu saja.

Setelah Papa selesai menyiapkan persiapan sekolah untuk kami tibalah hari yang kami tunggu. Hari ini adalah hari pertama aku dan Kak Rania pergi ke sekolah yang baru, jarak sekolah kamipun tak jauh dari rumah, dan kami lebih memilih menaiki sepeda. Menaiki sepeda sangat menyenangkan apalagi sepanjang perjalanan kami bisa menikmati pemandangan dan sawah yang begitu indah.

Kukayuh sepeda dengan bernyanyi sepanjang jalan, aku berangkat sekolah lebih pagi agar bisa melihat-lihat lingkungaan sekolahku yang baru, ditemani Dino teman pertamaku, sekelas denganku sekaligus dia adalah anak Pak Bejo penjaga rumah keluarga kami. Aku dan Dino berlomba menaiki sepeda menuju sekolah rupanya dia lebih jago mengayuh sepedanya di jalan yang terjal dan berlubang.

***

Sesampainya di sekolah, Dino mengajaku keliling lingkungan sekolah, nampak ada seorang Bapak penjaga sekolah yang diketahui bernama Pak Sholeh sedang meyapu halaman, laki-laki tua itu menyapa kami, “Wah Dino setip hari selalu datang lebih awal nih,” Bapak tua itu menunjukan ibu jari ke arah Dino, bocah bergigi rapi itu membalas dengan menunjukan kedua ibu jarinya.

Dengan sangat antusias Dino memperlihatkan ruang kelas, kantor guru, ruang kantin, perpustakaan, UKS, laboratorium dan juga ruang olahraga.

“Ini kelas kita Rey,” bocah cilik berambut ikal itu menunjukan salah satu ruang kelas. Kami berjalan beriiringan memasukinya, ruang kelas yang cukup bagus dengan dinding dihiasi poster para pahlawan revolusi, nampak sebuah papan tulis lebar didepan kelas, diatasnya ada gambar presiden dan wakil presiden RI, juga ada gambar burung garuda. Di meja guru ada vas bunga dan globe berukuran sedang.

“Terima kasih ya Din, nanti aku duduk sama kamu yah,” pintaku dan diapun menganggukan kepala tanda setuju.

***

Satu persatu siswa SDN 01 Suka Damai mulai berdatangan, aku dan Dino duduk di bawah pohon beringin yang sangat rindang di area lapangan olahraga menunggu bel berbunyi. Perlahan aku mulai nyaman dengan lingkungan baruku ini.

Teeeeeeeet ….

Bel berbunyi, menunjukan pukul 07.00 WIB, anak-anak berlarian memasuki ruang kelas, Aku dan Dino memasuki ruang kelas VI B, ruang kelas yang sebelumnya sudah Dino tunjukan kepadaku, masing-masing kelas hanya ada dua ruangan, berbeda saat aku berada di kota, masing-masing kelas terdiri dari empat sampai lima ruangan, sehingga siswa-siswanya sangat banyak, tetapi hal ini tidak mematahkan semangatku menjadi murid baru di sekolahku yang baru kutempati ini.

“Selamat pagi anak-anak?” sapa seorang Guru memakai hijab berwarna biru tua dengan ramah, aku tersenyum kearahnya dan membaca PIN nama yang tersemat di bajunya dengan lirih, “Sulistiowati,S.Pd.” gumanku.

“Selamat pagi Bu Guru,” kami menjawab dengan serentak.

“Baik Anak-anak, Ibu akan memperkenalkan teman baru kalian yang baru pindah dari kota,” Ibu Guru mempersilahkanku untuk berkenalan.

“Assalamu’alaikum teman-teman, perkenalkan nama saya Reynan Abimanyu, panggil saja Reynan,” begitulah perkenalan singkatku di depan kelas. Kemudian kamipun melanjutkan pelajaran.

***

Waktu istirahatpun tiba, aku dan Dino berjalan ke arah kantin sekolah, tiba-tiba Dino jatuh tersungkur, segerombolan anak-anak dengan sengaja mengganjal langkah kaki Dino hingga terjatuh, melihat kejadian itu mereka terkekeh tertawa terbahak-bahak.

“Hei si rambut ikal, jalan tuh pake mata,” ucap salah satu anak. Dino hanya diam dengan mendudukan kepala. Aku membantunya berdiri, keempat anak itu merasa heran melihatku menolongnya.

Rupanya anak-anak nakal itu sudah sangat sering mengolok-olok Dino karena rambut ikalnya. Dino adalah anak pendiam, sederhana dan juga pandai di sekolahnya, para guru menyukainya karena ketekunannya, namun tidak dengan teman-teman, ada beberapa teman yang iri padanya, mereka menjauhinya dan tak mau berteman dengannya.

***

Waktu berlalu begitu cepat, aku dan Dino sering menghabiskan sore bersama-sama, kamipun menjadi sahabat dekat dan sudah seperti saudara, Dino lebih sering di rumahku karena kebetulan kedua orangtuanya setiap hari bekerja di rumah kami. Kami belajar bersama, tak jarang saat aku kesulitan dalam pelajaran Dino mengajariku sampai benar-benar mengerti. Kita bermain game, membaca buku, bermain lego, bermain perang-perangan, bermain bola di halaman, dan lain-lain.

Sore ini Dino mengajaku mencari belut di sawah yang tak jauh dari rumah, “Dino memang jago dalam segala hal,” pikirku. Dino pandai memancing, memanjat pohon, balap sepeda, aku memanggilnya, “Dino si Bolang,” dan dia suka dengan panggilan itu.

Saat perjalanan menuju ke sawah, kami bertemu dengan segerombolan teman yang biasanya suka usil di sekolah, salah satu dari mereka menghampiriku.

“Rey, bolehkah kami ikut bermain di rumah kamu,” pintanya. Aku menoleh ke arah Dino yang mulai ketakutan.

“Maaf, kami tidak senang dengan anak-anak nakal,” jawabku sambil merangkul Dino.

“Kalian Tahu, Alloh SWT menciptakan umatnya begitu sempurna, di mata Alloh kita itu sama,” kataku. Mereka hanya menduduk malu.

“Kalau kalian ingin menjadi temanku, berhentilah menjadi anak-anak yang jahil, dan minta maaflah sama Dino,” perintahku.

“Kalau kalian ingin menjadi anak pintar seperti Dino, rajin-rajinlah belajar dan jangan malas,” aku memberinya saran.

Mereka berempat tak bisa menahan rasa malu dan bersalah atas perbutannya selama ini, bahkan bukan hanya Dino saja yang menjadi sasaran tetapi anak-anak lainpun tak luput dari kenakalan mereka sehari-hari di sekolah, kemudian mereka menghampiri Dino dan meminta maaf, mereka berjanji tidak lagi mengolok-olok ataupun jahil dan akan menjadi anak yang baik

***

Sejak saat itu, kamipun menjadi teman, kami sering belajar dan bermin bersama. Mereka tak lagi menjadi segerombolan anak-anak nakal di sekolah, teman-teman dan juga para guru sangat senang dengan perubahan mereka.

Bahwasanya kita semua adalah saudara, Kita itu tinggal di Indonesia dengan keaneka ragaman suku, ras, dan juga budaya. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetep satu jua. “Kita harus saling menghormati, saling menhgargai perbedaan, saling menyayangi dan tidak boleh mencela apalagi mengolok-olok orang lain”.

Ini adalah pengalaman yang sangat berharga dalam hidupku, jika suatu saat nanti aku pindah ke kota lain mengikuti Papa, aku tak akan melupakan teman-teman dimana mereka telah banyak memberi warna dalam hidupku.


















Junitha Hornet
Selamat Datang di Junitha Hornet's Story Blogger, Cerpenis, dan Penyuka Buku "Menulislah Karena Suka, Maka Kamu Akan Menikmatinya".

Related Posts

Posting Komentar