header junitha hornet's story

Cerpen Binar dan Bintang

Binar dan Bintang

Junitha Hornet

Sore itu disudut taman, gadis cantik bermata cokelat duduk sendiri menunggu kedatangan seseorang. Sesekali gadis itu melihat arloji di pergelangan tanggannya, mimik wajahnya nampak masam, gadis itu semakin gelisah, duduk kemudian berdiri, duduk lagi hingga akhirnya beranjak pergi menggalkan taman.

"Bintang, maaf aku nggak bisa menunggu lama," tuturnya, kemudian gadis itu berlalu dengan meninggalkan kotak berwana gold di bangku taman.

Di tempat lain, nampak seorang pria berkulit sawo matang, mengenakan topi dan cardigan berwarna hitam berdiri di sebuah halte bus, pemandangan yang sama nampak seperti gadis yang ada di taman tadi, kegelisahan tetlihat di raut wajah pria itu.

"Oh My God, bisa telat nih," gumamnya.

"Binar please tunggu aku," harapnya dengan penuh kecemasan.

Tak berselang lama bus trans Jogja jurusan Jln. KH Ahmad Dahlan pun berhenti tepat di depannya. Pria itu bergegas menaiki bus itu untuk menemui gadis bernama Binar.

***

Satu jam kemudian ....

Tak lama berselang pria bernama Bintang itu sampai di sebuah taman kota. Tapi sayang gadis yang ingin ditemuinya itu tak nampak. Kekecewaan dan rasa bersalah terus menggelayutinya.

"Andai saja kendaraanku nggak ada acara mogok di jalan pasti aku nggak akan terlambat seperti ini," sesalnya. Kemudian mengambil ponsel di saku celannya, dan terus mencoba menghubungi gadis itu.

"Binar, please angkat telephonenya," berulang kali laki-laki itu memanggilnya melalui saluran telephone, namun tak ada satupun jawaban, pesan singkat pun yang nampak hanya centang satu yang artinya pesan WhatsAppnya belum tersampaikan.

Bintang kembali pulang dengan membawa kotak yang ditinggalkan oleh Binar. Kotak berisi sejumlah barang-barang pemberiannya dan secarik kertas bertuliskan, “Bintang maafkan aku, aku pergi dan nggak bisa mengatakan ini sebelumnya. Thank’s for all,”.

***

Bintang melangkahkan kaki menyusuri jalan trotoar, hujan mulai turun menjadi saksi atas rasa sedih yang sedang ia rasakan, badannya yang kekar mulai kedinginan, dadanya terasa sesak, pria itu terus melangkahkan kaki dibawah guyuran hujan, ia merasa menyesal karena melepaskan sahabatnya begitu saja tanpa ada kata perpisahan, dan dia belum sempat mengutarakan perasaannya selama ini tak sekedar menaggap Binar seorang sahabat, tetapi lebih dari itu.

“Binnaaaaaaaaaaaar,” teriakannya berbaur dengan suara hujan deras.

***

Dua tahun kemudian .…

Di acara pembukaan sebuah galery, Binar yang belum lama ini kembali ke Jogja menyempatkan diri untuk melihat pameran lukisan dari para seniman lokal yang ada di kotanya. Ya, Binar memang sudah cukup lama meninggalkan kota kelahirannya itu untuk bekerja di luar negeri, tepatnya di Singapura jauh ke negeri sebrang untuk membantu keluarga mengumpulkan pundi-pundi menjadi perawat di sebuah rumah sakit besar.

“Binar?”

“Bi-bin-tang?”

Keduanya terperanjat, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama berpisah.

“Ma-maaf, aku per-gi dulu,” gadis berusia dua puluh empat tahun itu berusaha menghindar belum siap bertemu Bintang kemudian pergi tergesa-gesa. Bintang mengejarnya, namun sayang taxi online yang membawa gadis penyuka warna purple itu melaju begitu cepat meninggalkan galery.

***

Ke esokan harinya ….

Bintang melajukan kendraan roda empatnya dengan sangat hati-hati, Pria itu mengunjungi rumah Binar, gadis yang selama dua tahun pergi meninggalkannya dan lost contact.

“Selamat pagi Tante,” Bintang menyapa wanita paruh baya yang sedang berkebun di halaman, tak lain wanita itu adalah orang tua Binar.

“Nak Bintang!,” wanita itu terkejut melihat kedatangannya.

“Tante apa kabar?”

“Alhamdulillah, tante sehat,”

“Maaf Tante, Binar ada?”

“Ada … ada … ayo masuk dulu, biar Tante panggil Binar,” orang tua Binar menepuk bahu Bintang kemudian mengajaknya duduk di ruang tamu.

***

Tiga puluh menit berlalu, Binar belum juga menemui, Tante Saras menghampiri dan duduk di sofa yang sama.

“Maaf Nak Bintang, kalau boleh Tante tahu, ada apa dengan kalian berdua,”

“Maaf Tante, Maksud dari kedatanag Bintang juga mau tahu apa yang terjadi dengan Binar,” jawabnya. Tante Saras hanya terdiam dan menganggukan kepala.

“Bintang pamit pulang dulu Tante, sampaikan salam buat Binar,” pesannya. Bintang meninggalkan rumah dengan membawa rasa kecewa juga tanda tanya besar. Sebelum kendaraannya melaju, Tante Saras memanggilnya,

“ Nak Bintang tunggu,” wanita paruh baya itu mengulurkan secarik kertas berisi no telephone.

“Ini Nomor Waht’sApp Binar, Telephonelah dia nanti,” pintanya.

“Terima kasih tante.”

***

Dua tahun yang lalu, satu minggu sebelum keberangkatan Binar ke Singapura.

Usai melengkapi berkas-berkas keberangkatannya ke Singapura, dan menyiapkan beberapa sertifikat keahlian di bidang keperawatan dari kampusnya, gadis itu pergi ke sebuah toko yang ada di kompleks Malioboro.

Netranya menangkap ada sahabatnya yang tak lain adalah Bintang, duduk dengan seorang gadis di salah satu cafe yang ada di jln itu.

“Oh gadis itu yang dijodohkan oleh Mamahnya,” tuturnya penuh tanda tanya.

“Syukurlah kalau begitu, aku ikut senang,” gumamnya berapi-api. Kemudian gadis itu melanjutkan langkahnya menuju toko yang letaknya persis berada di sebrang cafe.

***

“Binar, kamu bener nggak mau kasih tahu Bintang rencana keberangkatanmu ke Singapura,”

“Iya Mah beneran, nanti Binar pamitan kok sebelum ke bandara,” gadis itu menjawab pertanyaan Mamahnya.

“Masih ada tiga hari lagi loh, ayolah kerumahnya dan berpamitan,” Mamahnya mendesak.

“Kalian berdua lagi nggak berantem kan?”

“Enggak Mamahku sayaaaaang,” jawabnya sambil memeluk wanita yang melahirkannya itu. Kemudian gadis itu kembali packing dan membereskan dokumen penting yang akan dibawanhya ke negeri sebrang.

***

Pukul 21.30 WIB ….

Dari dalam kamar bercat putih bersih terdengar alunan lagu, Bintang sedang mendengarkan music-music favorite sambil mengecek beberapa laporan dari karyawannya. Ya, Bintang yang usianya terpaut tiga tahun dengan Binar itu memiliki usaha kedai kopi dan barber shop di daerah kampus UGM.

Ponselnya berdering, satu nama ada di layar ponselnya. Seorang gadis sahabatnya sejak kecil, siapa lagi kalau bukan Binar.

[Hallo Nar, kemana aja sih, aku telephone ngggak di angkat, aku Whats’App juga nggak dibalas, kamuuuu masih di bumi kan?].

[Bintaaaaaang, apaan sih kamu, jelas masih di bumi lah] jawabnya.

[Tumben malam-malam telephone? Mau pergi kemana? Mau diantar kemana No?] ledeknya.

[Bintaaaaaaang. Aku di rumah kok. Besok ada yang mau aku omongin, kita ketemuan ya?] ajaknya.

[Okey] jawab Bintang.

[Besok jam tiga sore aku tunggu di taman kota okey] gadis itu kemudian menutup telephone sesaat setelah memberi salam.

***

Mobil merwarna silver melaju menuju taman kota, tapi naas, mobil yang ditumpanginya itu mogok di jalan, hingga ia harus bergegas mencari kendaraan umum, dan meninggalkan mobilnya di tepi jalan untuk menemui Binar.

***

[081-100-599-8] Bintang memasukan 10 digit no itu ke dalam ponselnya dan berusha menghubungi Binar sahabatnya.

[Hallo] suara khas terdengar dari ponselnya.

[Hallo Nar, ini Bintang. Jangan tutup telephonenya please, Kamu tunggu aku di rumah, jangan kemana-mana ya] Bintang memohon dan menutup ponselnya kemudian bergegas menuju rumah Binar.

***

Sesampainya di halaman, nampak Om dan Tante Saras sedang duduk di teras, Binar pun berada diantara mereka. Tante Saras mempersilahkan Bintang duduk, kemudian meninggalkan mereka berdua.

“Binar, kamu kenapa? Kalau aku ada salah tolong kasih tau aku, jangan ngilang begitu aja,” tanya Bintang tanpa basa basi.

“Aku nggak kenapa-napa kok, tenang aja aku nggak kemana-mana, dan aku masih di atas bumi,” Binar membela diri dan mencoba mencairkan suasana.

Sesaat mereka berdua terdiam. Menyelami perasaan masing-masing. Perasaan Bintang terhadap Binar yang sesungguhnya begitu pun sebaliknya. Dan rasa penasaran Binar terhadap kedekatan Bintang dengan gadis yang di jodohkan oleh orang tuanya.

Tetapi semua itu mereka simpan dalam hati, dan tak mau persahabatan yang terjalin sejak mereka kecil itu hancur. Dan lagi Bintangpun tak ingin menjadi anak yang tak berbakti. Dilema memang, tetapi itulah perasaan yang sedang mereka rasakan. Merasa hancur berkeping-keping, rasa kehilangan satu sama lain, dan harus merelakan. Semua perasaan itu tersimpan dengan rapi dihati masing-masing, tak ada satupun yang berani mengutarakannya. Yang mereka inginkn adalah keadaan kembali seperti semula.

***

Waktupun berlalu, mereka kembali menjalani hari-hari dengan aktifitas masing-masing. Menjadi sahabat terbaik yang saling mendukung satu sama lain.

“Karena perihal jodoh, Biarlah Alloh yang mengaturnya”.






Junitha Hornet
Selamat Datang di Junitha Hornet's Story Blogger, Cerpenis, dan Penyuka Buku "Menulislah Karena Suka, Maka Kamu Akan Menikmatinya".

Related Posts

Posting Komentar