header junitha hornet's story

Cerpen Ada Bahagia Selepas Duka

Ada Bahagia Selepas Duka

Oleh : Junitha Hornet

Cerpen Ada Bahagia Selepas Duka

Sudah hampir satu jam aku duduk di sudut kamar berukuran 3x3 meter dan memeluk bownie boneka beruang berwaran coklat, sesekali menyeka bulir bening yang terus mengalir dari sudut netra ini, wajahku nampak sembab, hidung memerah bak buah cherry dan pita suara terasa kering.

“Sudah sejauh ini aku pergi meninggalkan rumah,” gumamku.

Merantau di negeri orang dan jauh dari keluarga membuatku rindu kampung halaman, aku terus terisak, seolah tak percaya sudah sejauh ini meninggalkan tanah kelahiranku.

Kupandangi potret keluarga, ada aku yang sedang bersandar di bahu Alm Abi, Umi mengenakan terusan motif bunga berwarna hijau, dan kedua adiku saling bergandengan tangan, ini adalah foto terakhir saat kita rekreasi sebelum Abi meninggalkan kami untuk selama-lamanya karena kecelakaan kerja.

“Aku merindukan kalian,” ucapku dalam hati.

***

Satu tahun yang lalu.

Untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta menuju Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, kemudian bertolak terbang menuju bandara Changi Singapura. Tak pernah terbesit dalam pikiran bisa menaiki pesawat sejauh ini, sendiri tanpa ada satu orangpun yang aku kenal.

Namaku Ardelia Putri, gadis berusia dua puluh dua tahun. Aku menjadi salah satu pejuang devisa, menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), asal Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku merantau mengumpuklan pundi-pudi, untuk memantaskan keluarga yang saat ini sedang terlilit hutang seorang rentenir.

Sepeninggal Abi, Umi berjuang membesarkan kami bertiga, memberi nafkah dan menyekolahkan kami, usaha menjahitnya tak seramai sebelumnya, aku sebagai anak tertua membantunya dengan bekerja paruh waktu di sebuah kantor notaris dan menjadi guru les privat anak usia SD.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah tanpa sepengetahuan kami Umi memberanikan diri meminjam sejumlah uang kepada seorang rentenir hingga akhirnya Umi tak langi sanggup membayarnya, bunga terus bertambah berkali-kali lipat tak ada keringan bahkan belas kasih, satu persatu harta benda kami melayang hanya terisa sepetak rumah yang kami tempati saat ini.

Sejak saat itulah aku memutuskan untuk bekerja menjadi TKI di negeri Singa menjadi salah satu pekerja di sebuah supermarket terbesar di Singapura yang memiliki lima puluh cabang, beberapa diantaranya buka selama dua puluh empat jam non stop.

Di perusahaan ini terbagi menjadi tiga shift, sehingga paruh waktu bisa aku gunakan untuk bekerja di sebuah restaurant masakan khas Indonesia yang letaknya tak jauh dari tempaku bekerja.

***

Satu tahun berlalu aku menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) di Negara Metropolis dengan tatanan kota yang begitu hijau, bersih dan asri, akan dikenakan denda yang cukup besar jika ada warga yang membuang sampah sembarangan.

Singapura memiliki iklim yang sama dengan Indonesia yaitu beriklim tropis, mengalami musim hujan di bulan November hingga Maret dan musim kemarau di bulan April hingga September. Kesamaan iklim inilah tak begitu membuatku kesulitan untuk beradabtasi ketika pertama kali menginjakan kaki di sini.

Di Singapura bahasa Inggris menjadi bahasa resmi dan digunakan sebagian besar warganya, selebihnya mereka menggunakan bahasa melayu sebagai dialek sehari-hari, seiring waktu aku mulai terbiasa dengan kedua bahasa itu.

Tak mudah menjadi perantau, dengan biaya hidup yang begitu tinggi, semua serba mahal membuatku memutar otak untuk berhemat dan mengatur pendapatanku, karena tujuan awalku berada di sini adalah mencari pundi-pundi untuk menuntaskan hutang piutang keluargaku dan membiayai pendidikan adik-adikku.

Selama berada di tanah rantau banyak hal yang aku alami, dari rasa sepi merasa sendiri, kesulitan memahami bahasa di awal-awal, sulit memilih makanan yang cocok dengan lidah orang Indonesia, persaingan karyawan yang tidak sehat di kantor, dan lain-lain.

Aku terus bersabar dan tetap tabah menjalani takdir yang Tuhan berikan kepadaku, tak pernah berhenti kurapalkan doa disetiap sujudku, jika bukan hari ini, mungkin esok kebahagiaan itu dapat kuraih dan aku terus meyakininya, aku terus berjuang bersabar dan berserah diri hingga tiba waktunya nanti hal indah akan aku dapatkan dan kembali pulang.

***

“Delia, maafkan Umi,” air matanya berderai wanita paruh baya itu memelukku dengan erat.

“Tak ada yang perlu di maafkan Umi,” jawabku.

“Delia yang minta maaf belum bisa membahagiakan keluarga,” sesalku.

“Delia akan membahagiakan Umi dan Adik-adik,” ucapku berjanji seraya menyeka air mata seorang wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku.

“Ijinkan Delia bekerja, dan menyekolahkan Adik-adik,” pintaku.

Merekapun melepas kepergianku merantau di negeri sebrang, tak ada pengalaman sedikitpun di negeri orang, hanya keyakinan bahwa Tuhan pasti memberikan jalan disetiap kesusahan, memberi cahaya di setiap gelap yang kurasakan, dan atas ijin dan Keridaan Ibukulah yang menjadikanku kuat.

***

Sore ini aku duduk menunggu seseorang sambil menikmati senja yang mulai menghampiri peraduannya, melihat patung yang kokoh tegak berdiri. Merlion Patung berbentuk seekor ikan berkepala singa ini adalah simbol kebanggaan Singapura.

Banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia mengunjungi tempat ini, tak heran jika tempat ini menjadi salah satu tempat favorit WNI yang bekerja disini sekedar singgah untuk menghilangkan kepenatan, bertemu dengan teman-teman satu negara sebagai pelepas rindu.

Angin berdesir lembut mayapu pipiku, cahaya jingga mulai nampak begitu indah. Hijab berwarna pink yang aku pakai turut tersapu angin dengan pelan, terdengar langkah kaki berjalan, sosok laki-laki berjaket kulit dan mengenakan topi itu menghampiriku.

“Hai, Delia,” laki-laki itu menyapaku dengan ramah.

“Hai Mas Fahmi,” aku membalasnya denga melambaikan tangan.

Fahmi Fahreza adalah anak sulung pemilik restaurant masakan khas Indonesia dimana aku bekerja paruh waktu. Kami begitu dekat karena mereka berasal dari Indonesia, lebih tepatnya kami berasal dari kota yang sama yaitu Yogyakarta.

Kedua orang tuanya tinggal di Yogyakarta, restaurant keluarga dikelola olehnya dan adik perempuannya bernama Tiara yang saat ini sedang kuliah di University of Singapore.

***

Suatu pagi di Botanic Garden.

Akhir pekan ini aku dan teman-teman perkumpulan WNI berkunjung ke Botanic Garden, taman seluas enam puluh hektar ini menjadi situs warisan dunia pertama di Singapura oleh UNESCO, taman ini banyak digunakan oleh warga untuk bermain, bersantai, olah raga dan melakukan kegiatan lainnya.

Hari ini akan ada pertunjukan angklung, yang akan dimainkan oleh Indonesian Angklung Ensemble, perkumpulan WNI ini sering mengadakan pertunjukan, aku menjadi salah satu relawan untuk membagikan brosur dan memperkenalkan alat musik angklung kepada para pengunjung.

Disinilah awal mula pertemuanku dengan Mas Fahmi dan adik perempuannya. Mereka menjadi donatur menyuplai kebutuhan kudapan dan makan siang untuk teman-teman yang akan tampil memainkan alat musik. Kami saling berkenalan, bertukar nomor WhatsApp dan beberapa bulan kemudian Tiara menawariku untuk bekerja paruh waktu di restaurant milik keluarganya itu.

***

Aku dan Mas Fahmi masih duduk menikmati sore di One Fullerton yaitu di taman Merlion sebuah objek wisata utama di negara ini.

“Delia, jika tidak keberatan maukah kamu bekerja di restaurant kami, bukan bekerja paruh waktu melainkan menjadi karyawan tetap,” Mas fahmi membuka obrolan tanpa basa basi.

Masa kontrakku selama dua tahun bekerja di supermarket terbesar di Singapura itu tinggal dua bulan lagi, dan saat ini aku memang sedang mengirim banyak surat lamaran pekerjaan di tempat lain, bak gayung bersabut ini adalah kesempatan untukku melanjutkan pekerjaan lepas keluar dari masa kotrak yang akan segera berakhir.

Tanpa berfikir panjang aku menerima tawarannya, mungkin inilah jalan yang sudah disiapkan oleh Tuhan memudahkan segala urusanku di negeri orang ini, untuk menuntaskan keinginanku yaitu membahagiakan keluarga di Indonesia, melunasi hutang piutangnya yang hampir tuntas, menyekolahkan kedua adikku dan melanjutkan hidup lebih bahagia.

***

Dua tahun kemudian.

Aku dan Tiara kembali ke Indonesia, Tiara telah usai menyelesaikan pendidikannya di Singapura. Dan aku sendiri telah usai melunasi hutang piutang keluargaku, dan masih terus melanjutkan cita-citaku untuk menyekolahkan kedua adik-adikku.

Di Yogyakarta aku membuka butik dan rumah jahit untuk Ibuku, membuka lembaran baru, meninggalkan hutang piutang dan hidup bahagia bersama keluarga, dan aku diberi kepercayaan oleh Mas Fahmi dan keluarganya utuk mengelola restaurant yang baru mereka buka di beberapa cabang.

“Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberiku kesempatan untuk berbakti dan melanjutkan cita-cita Abi untuk membahagiakan Umi dan kedua adik-adikku,” doaku dalam hati, bersujud syukur dan menangis karena bahagia.

Sejatinya tak ada sebuah permohonan doa dan juga kerja keras yang sia-sia, tak ada perjuangan yang tidak membuahkan hasil jika dikerjakan dengan tulus dan ikhlas.






























Junitha Hornet
Selamat Datang di Junitha Hornet's Story Blogger, Cerpenis, dan Penyuka Buku "Menulislah Karena Suka, Maka Kamu Akan Menikmatinya".

Related Posts

Posting Komentar